Ilustrasi: www.alhikmah1.or.id |
Lima hari yang lalu, gedung baru pondok
pesantren Andalasuia telah diresmikan oleh Kiai Sepuh Ahmad Furqan.
Gedung ini terdiri dari 30 kamar, 20 kamar mandi, 2 ruang tamu, dan 1
ruang perpustakaan. Banyak di antara para kiai yang memuji kemegahan
gedung baru ini, salah satunya adalah kiai Fuad dari Bumiayu, beliau
menggambarkan bahwa gedung ini mirip dengan gedung-gedung pemerintah
yang ada di Jakarta.
“Pertama kali saya mendampingi kiai
Furqan meresmikan gedung ini, saya merasa seperti ada di Jakarta,
soalnya gedungnya mirip dengan kantor-kantor negara”, ujar kiai Fuad
tatkala diwawancarai tim majalah Warna.
Kiai Hisyam tak ubahnya seperti kiai
Fuad, beliau pernah bilang di sela-sela obrolannya dengan santri senior
bahwa “saya merasa nyaman di sini, karena gedung ini tidak menampakkan
simbol-simbol eksklusif, sehingga tidak tampak arogan. Hanya ada logo
garuda di depan gedung yang melambangkan persatuan.”
___
Aku adalah Dani Kusumanegara, asal
Lampung. Saat ini sedang belajar di pondok pesantren Andalusia
Yogyakarta. Sejak pertama aku berada di pesantren ini, pak kiai Furqan
selalu bilang kepada para santri mengenai pentingnya menghormati dan
menghargai orang lain, sekalipun berbeda agama, ras, suku, latar
belakang pendidikan, nasab, dan lain-lain. Terakhir di pengajian tafsir
Jalalain ba’da subuh kemarin kiai, mengingatkan kembali pada para
santri.
“Eling-eling kabeh santri, kalian tahu
kan bahwa Allah adalah Tuhan Pencipta Alam? Kita diciptakan oleh Allah,
kepada Allah juga kita akan kembali. Jadi hiduplah dengan tentram,
kedepankan perdamaian dengan siapapun, karena hakikatnya kita berasal
dari yang satu Pencipta”.
Selepas pengajian, seperti biasa aku
bersama teman-temanku berkumpul di sudut gedung baru. tempat itu
tersedia meja dan kursi untuk para santri menonton pertandingan tenis
meja. Kebetulan hari ini adalah hari jumat, jadi kita free, bisa
menontoton bahkan bermain sepuasnya.
Selagi kita asyik menontot pertandingan
yang seru antara runner up dan juara lima dari turnamen agustusan
kemarin, tiba-tiba Fahir mengatakan hal yang kontroversial.
“Kenapa ya kiai tadi bilang gitu? Padahal orang kafir kan wajib diperangi. Kata Fahir sambil menatapku”.
“Wah kamu ini pasti ngajinya sambil tidur ya tadi, pasti gak denger kan kesimpulan dari abah yai?” Sambungku.
“Aku dengerin kok, malah aku catat yang penting-penting”.
“Lantas apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
Belum sempat Fahir menjawab pertanyaan dariku, kami dikagetkan dengan kedatangan kiai bersama tiga orang temannya.
“Assalamu’alaikum, keasyikan ngobrol sampai lupa gak nonton pertandingan tenis meja teman kalian ya?”
Secara bergiliran kami menghampiri kiai dan bersalaman.
“Iya abah, soalnya Fahir tadi mbuka diskusi dengan pertanyaan yang menohok”.
“Alhamdulillah, kalian sudah pandai
berdiskusi. Kenalkan ini teman-teman Abah ketika kuliah di Mesir dan di
Jerman dulu. Ini Misbahul Huda, sekarang mengasuh pesantren milik
ayahnya. Sedangkan ini Christian Purnomo sekarang mengajar di
Universitas Kristen Yogya, dan ini Pak Bambang pentolan Tionghoa”.
“Teman-teman abah ini orang yang cerdas
dan berpengaruh di komunitasnya, ide-idenya dalam menjalin toleransi
sangat diakui. Logo garuda yang ada di depan gedung ini juga yang
menyarankan si Purnomo, kiai Hisyam juga, dan beberapa kiai teman abah
sangat setuju. Yaa katanya biar terlihat inklusif, itu melambangkan
kalau pondok terbuka lebar bagi siapapun dari macam-macam latar belakang
untuk berkunjung”.
“Wah kok bisa akrab gitu abah sama teman-teman beda agama?” Tanya Fahir kaget.
“Tugas muslim sejati kan membuat
siapapun yang berada di samping kita merasa nyaman, aman, dan tentram.
Dulu ketika Nabi berada di Madinah, beliau membuat piagam Madinah
sebagai aktualisasi perdamaian dengan agama lain. beliau sangat toleran,
baik terhadap muslim sendiri maupun terhadap paenganut agama lain. Nah
sekarang ajaran itu ya bisa kita amalkan, agar kehidupan kita nyaman
tanpa ada permusuhan dan kebencian”. Jelas kiai kepada kami.
____
Satu minggu berlalu, di tempat yang
sama si Fahir masih terngiang-ngiang ucapan kiai itu. Ia lega mendengar
klarifikasi dari abah. “Lebih afdhal aku ikut kiai saja, daripada aku
ikutin ucapan-ucapan orang-orang yang belum aku tahu latar belakangnya
seperti video yang tersebar via Whatsapp bulan lalu”. Ujarnya dalam
hati.
Jumat ini agendanya minum kopi sambil ngemil mendoan yang aku beli dari bi Kinah tadi.
“Kemarin pas pelajaran IT di sekolah,
aku lihat di Youtube lihat-lihat ceramahnya Gus Mus sama lho dengan yang
dikatakan abah kiai Jumat lalu. Aku juga lihat ceramahnya kiai-kiai NU
memang begitu adanya, bahkan kutipan-kutipan dari Al-Qur’an, hadis, dan
pendapat ulama dipakai untuk memperkuat pendapatnya”. Ujar bang Husen
membuka obrolan.
“Wah kalau gitu aku hampir tercuci otak nih gara-gara denger video dari WA saat libur lebaran kemarin”. Kata Fahir.
“Wkwkwkwkw… makannya ngaji itu sama yang jelas-jelas saja. Ngaji kok via WA, mana dalem pembahasannya”. Ejek bang Husen.
“Wah kelihatannya asyik yah guys?” Kami dikagetkan dengan kedatangan orang bule dari arah kamar tamu.
“i.. i…ya pak”. Jawabku terbata-bata.
“Bapak ini siapa dan dari mana ya, saya
gak pernah lihat sebelumnya”. Tanya bang Somad yang ternyata telah
menghentikan bermain tenis meja sambil menghampiri kami.
Perkenalkan nama Saya Martin, keturunan Belanda. Ia memperkenalkan diri sambil menyalami santri-santri yang ada di situ.
“Lhah kok bisa ada di sini, ada kepentingan dengan kiai ya?” Tanya Hadi.
“Sebenarnya saya di Indonesia sudah
sejak tiga tahun lalu. Saya di Indonesia dalam rangka riset saya
mengenai toleransi dan perdamaian di pondok pesantren Indonesia”.
“Apa itu riset pak?” tanyaku.
“Riset itu penelitian ilmiah”.
“Pak Martin ini orang kampus yah? saya pernah dengar kata-kata itu dari paman saya yang menjadi dosen”. Tanyaku kembali.
“Iya benar”.
“Terus apa yang menarik dari pondok pesantren kita, padahal kita kan hanya ngaji di sini?” sambung bang Hamdan.
“Saya sempat berdiskusi dengan
tokoh-tokoh besar pimpinan pesantren juga, katanya pondok ini dipimpin
kiai yang menjunjung toleransi dan perdamaian. Selepas saya berdiskusi
dengan kiai tadi malam, ternyata kiai juga mengajarkan toleransi kepada
para santrinya”.
“Iya sih, kiai selalu menyebutkan
toleransi-toleransi gitu. Kiai juga sering kedatangan tamu yang katanya
non muslim”. Jawab bang Hamdan.
“Tepat. Itulah maksudku ingin meneliti pesantren ini”. Kata pak Martin.
“Saya dengar dari berita dan
media-media online kalau orang-orang banyak mengkalim pondok pesantren
itu sarang teroris”. Benarkah demikian pak?
“Saya tidak sepakat dengan itu,
buktinya saya di sini merasa nyaman tidak ada teror-teror, saya juga
melihat para santri bersikap ramah dan menghormati saya, sekalipun saya
non muslim”.
____
Pukul 22.00, aku kembali menuju gedung
baru. Niatku harus tercapai bertemu dengan pak Martin itu, tampaknya dia
orang yang baik dan cerdas. Aku mau belajar sesuatu darinya, mumpung
gratisan. Hihihi… ujarku dalam hati.
Belum sampai aku di kamar tamu, aku melihat pak Martin sedang duduk di pojok gedung baru sambil menatap laptopnya.
“Selamat malam pak, lagi ngetik yah. Butuh bantuan apa tidak pak?”
“Eh kamu, siapa namamu?
“Dani pak.
“Iya saya lagi ngetik data yang hari ini saya peroleh.
“Ooo… harus diketik juga ya pak?
“Benar, biar laporan penelitiannya cepat terselesaikan tanpa tergesa-gesa.
“Saya dari dulu pengen banget menulis pak, tapi gak ada yang ngajarin. Terus apa aja yang ditulis juga saya masih bingung”.
“Jadi kamu pengen belajar menulis? mau saya ajari?”
“Wah mau pak, mau banget”.
“Gini Dan. Pertama kamu harus tau bahwa
menulis itu senjata. Dengan tulisan, kamu bisa merubah dunia. Itulah
kekuatan tulisan. Jadi kamu harus nulis yang bagus-bagus agar
orang-orang yang baca bisa senang membacanya”.
“Oke pak, ini saya catat. Terus apa lagi pak?”
“Kamu nulis yang ringat aja dulu,
misalkan kehidupan sehari-hari kamu. Contohnya kamu bisa menentukan
judul “Indahnya Mondok di Pesantren Andalusia”, terus “Pesantrenku yang
Unik”.
“Terus pak?”
“Isi tulisan ya dari pengalamanmu dari
obrolan dengan teman-teman, bisa juga kata-kata kiai kami jelaskan lebih
panjang lagi. Paham?”
“Paham pak. Saya mau nulis yang tadi bapak bilang, “Indahnya Mondok di Pesantren Andalusia”.
“Bagus itu. Ya sudah kamu pulang, mulai nulis ya. Besok kesini lagi gak papa saya tunggu”.
“Siap pak”.
_____
Keesokan harinya, aku mulai berfikir
dan mengingat-ingat tentang yang bagus-bagus dan nyambung dengan zaman
sekarang. Hampir satu jam aku berfikir keras untuk menemukan satu
persatu yang aku alami.
Ahaa… tepat sekali. Aku mengingat
pengalaman-pengalamanku beberapa waktu lalu tatkala berbincang dengan
Fahir dan teman-teman yang kemudian didatangi kiai. Aku juga mengingat
kata-kata kiai tentang perdamaian dan menjaga hubungan baik dengan semua
orang. Aku juga ingat siapa saja pengikut agama lain yang datang
beberapa bulan yang lalu berdasarkan cerita dari kiai saat ngaji ba’da
Isya’.
Okelah, judul yang semalam diusulkan
bapak-bapak itu aku modif lagi aja menjadi “Pesan dari Pesantren
Andalusia”. Oke begitu sajalah judulnya.
Selepas shalat ashar berjamaah, aku
bergegas ke laboratorium komputer milik pesantren untuk mengetik. Tidak
lupa aku bawa flaskdisk hadiah dari orang tuaku tiga bulan yang lalu.
Terlebih dulu aku izin kepada kepala keamanan untuk pergi ke ruang
laboratorium agar tidak dicari-cari ketika tidak terlihat di kegiatan
ekstrakurikuler.
Aku mulai mengetik dari satu kata
hingga menjadi kalimat dan menjadi satu paragrap. Menjelang maghrib aku
selesai mengetik pengalaman-pengalamanku, yang aku tambahi dengan
beberapa kutipan ulama untuk memperkuatnya. Setelah selesai mengetik,
aku bergegas kembali ke bilik untuk bersiap-siap shalat maghrib
berjamaah.
Aku sudah tidak sabar ingin menunjukkan tulisan ini kepada bapak-bapak itu untuk dikoreksi.
_____
Setelah semua kegiatan pesantren
selesai, pada pukul 22.00 aku bergegas menuju ke pojok gedung baru yang
digunakan sebagai tempat nyantai. Aku lihat di pak Martin sudah duduk
ditemani kopi, cemilan, dan laptopnya yang mahal.
“Selamat malam pak. Saya sudah
menuliskan pengalam-pengalamanku beberapa waktu lalu pak. Coba dilihat
dulu, tulisanku aku simpan di Flasdisk ini”.
“Oke. Sini saya lihat dulu”.
File telah terbuka, pak Martin khusyu
membaca kalimat-kalimat yang aku tulis sambil manggut-manggut. Lima
belas menit kemudian pak Robet mengluarkan pernyataan yang membuatku
tersenyum. “Tulisanmu bagus, sering nulis juga?”
“Dulu pernah diajari paman, terus nulis beberapa artikel. Kata paman tulisanku sudah layak untuk dikonsumsi publik”.
“Oke gini saja. Kirim saja tulisanmu di website NU. Terserah NU mana saja yang kamu kehendaki. Kemungkinan besar akan dimuat”.
“Oo iya. Di Lampung kana ada website NU juga. Coba saya kirimkan ke sana saja pak”.
“Saya kirim melalui laptop bapak ya?”
“Iya boleh silahkan”.
____
Pada hari senin aku membuka website NU
Lampung. Aku amati satu-persatu judul dari beberapa judul yang diposting
hari ini. What? Alhamdulillah tulisanku dimuat. Sejak saat itu setiap
satu minggu sekali aku mengirimkan tulisan di website NU Lampung hingga
22 artikel tentang pesantren Andalusia yang bermuatan perdamaian.
Aku tak menyangka, ternyata abah kiai sudah tahu kalau aku rajin mengirimkan tulisan.
Selanjutnya aku tak menyanga bahwa kiai
memberiku penghargaan sebagai penulis produktif dari pondok pesantren
Andalusia dengan konten perdamaian.
“Dani merupakan santri yang produktif
menulis. ia merupakan aset pesantren dan harapan baru pesantren. Selama
ini, kita banyak berbicara tentang berbagai macam tema, tapi belum
satupun yang menuliskannya. Tradisi menulis di pesantren ini belum
terbentuk, jadi kami bahagia jika di lingkungan ini ada santri yang
memiliki motivasi menulis. Ia menyebarkan konten perdamaian dari
pesantren ini melalui tulisan, inilah harapanku yang selama ini aku
pendam”.
Demikianlah pidato abah kiai saat pemberian penghargaan kepadaku.
Penulis: Arief Rifkiawan Hamzah
Sumber: ruangdiskusi.com