Setelah Intimidasi, Terbitlah Kata Maaf


Oleh: Sri Suherna Wati*

Senja  di sore itu kini semakin nampak jelas sekali di depan mataku. Lalu lalang yang tadi tampak berisik kini melengang. Siklus alam, ya, selalu saja orang kembali pulang saat petang  kian kencang menorehkan lelah. Tapi tidak buatku ! Aku masih saja duduk di teras asramaku, setia mendengarkan alunan merdu shalawat Nabi. Panggil saja namaku Toni, aku seorang mahasiswa di sebuah universitas terkenal di kota Semarang. Sosokku memang aneh sekali, aku merasa asing, kulitku tak seperti yang lainnya. Aku merasa minder dengan teman-temanku. Aku merasa  orang yang benar-benar tidak sempurna. Sesekali aku bercermin “Siapa aku ? Kenapa aku seperti ini ? Kenapa aku hidup tidak seperti yang lain ? Aku malu! Kulitku hitam bak kopi pahit, ejekan-ejekan itu pun sudah menjadi makananku setiap hari” sering sekali kata-kata itu kulontarkan dalam hatiku. Aku merasakan ketidak adilan dalam hidupku. Susah, susah sekali mengubah hidupku yang serasa tiada bermakna ini.

Siang ini aku bergegas ke kampus, pukul 13.00 aku harus sudah masuk kelas agar tidak ketinggalan pembahasan. Jarak dari asrama yang aku tempati memang dekat dengan kampus, hanya menempuh waktu sepuluh menit jika berjalan kaki. Aku memang suka menyendiri, terkadang aku malu, tapi beberapa temanku ada yang selalu memujiku. Mereka bilang aku pintar, aku hebat, aku jenius. Entahlah ! Aku bingung, aku heran. Pujian dan hinaan selalu saja membuatku mengeluh. Untuk apa aku bangga terhadap kepintaranku, sementara ragaku dan tubuhku tetap menjadi hinaan bagi mereka. 

Sering sekali aku mengeluh, rasanya aku memang manusia yang terlahir dengan penuh kekurangan, aku memang lelaki yang terhitam sendiri diantara empat bersaudara. Entahlah apa yang membuatku berbeda dari mereka. Banyak orang bilang, aku terlahir seperti untuk dibuang dan menjadi hinaan untuk orang-orang disekitarku.

Sampai pada saat itu, aku merenung di taman kampus dekat perpustakaan. Menerawang jauh, apa yang akan aku lakukan ketika aku sudah lulus sarjana nanti ? apa mereka akan bersedia memberi aku pekerjaan ? atau justru mereka ketakutan dan lari terbirit-birit ?

Oh Tuhan, inilah aku, buang semua perasangka negatif akan diriku. Berat rasanya kujalani hidup ini, namun yang kuharap hanya Ridha-Mu.

“Toon..!!!”

Terdengar jelas dibelakangku memanggil namaku. Kutolehkan pandanganku kebelakang. Andi, ya dia memanggilku. Aku pun menghentikan langkahku. Aku dan Andi pun berjalan bareng menuju kampus. Andi, dia teman baikku. Satu asrama denganku, hanya saja dia dilantai tiga, sedang aku berada dilantai dua. Aku satu jurusan dan satu kelas dengannya. Tiba dikelas suasana ricuh. Mereka ribut mengerjakan tugas statistik pertemuan kemarin. Alhamdulillah aku dan Andi sudah mengerjakan.

“Hei kamu !” suara itu keras sekali berarah dari belakang. Tak tahu siapa yang dimaksud. 

“Hei kamu Toni, si Hitam”.

Aku menoleh kebelakang, Gilang !. Iya Gilang memanggil namaku. Gilang orang yang paling tidak aku sukai di kelas. Dia orang yang selalu mengejekku, menghina keadaanku. Aku muak ! ya aku benci sekali padanya, dia memang kaya, gayanya cool dan di kampus disegani cewek-cewek cantik memujinya. Lain denganku, aku justru orang yang paling kaku dengan cewek-cewek, aku tahu diri, siapa aku ?

“iya, ada apa Lang...?” ujarku santai.

“Aku nyontek tugasmu dong, kamu pasti sudah”.

Aku terdiam. Melihat tatap mata Gilang yang begitu tajam, seolah mau menerkamku. 
“Cepat ! keburu dosennya dateng, pelit amat sih, ilmu itu harus dibagi-bagi dong, jangan dipendam sendiri”.

Gilang semakin memaksa aku untuk memberikan tugasku. Aku pun mengeluarkan buku tugasku dan memberikannya pada Gilang. Hati ini begitu sesak, tak cukup sekali dua kali dia menyontek tugas-tugas kuliahku. Aku ingin sekali membantahnya, tapi aku tak kuasa. Entah apa yang membuatku tak bisa membantah kelakuannya.

Geram itu serasa menghilang bak pasir terhampas angin yang begitu kencang menerjang. Suasana hati semakin memanas, tak bisa tenang. Nadiku pun ikut berguncang. Rasanya hariku gelap, tak ada setitik cahaya pun yang bisa mengusir kegelapan itu. Aku ingin sekali mengadu ! Tapi kepada siapakah orang yang harus aku jadikan catatan hidupku ?

Cukup sudah kuliahku hari ini, Aku dan Andi  pun pulang ke asrama. Hari-hariku selalu saja seperti ini. Kampus ibarat neraka bagiku, aku sudah tak betah, aku lelah ! Aku capek dan bosan sekali mendapatkan perlakuan kasar dari Gilang dan teman-temannya. Gilang memang orang kaya, pantas saja kalau dia punya “gank” dalam pergaulannya saat ia di kampus. Deni, Rio, ya itulah nama kedua teman Gilang yang selalu saja membuat hatiku terluka.  

“Ton, jangan lupa nanti habis asar yaaa”.

Teriak Andi dari lantai tiga dekat tangga. 
“iyaaa dii..”

Andi mengajakku main bola. Biasalah kalau sehabis shalat ashar memang sering sekali aku dan teman-teman asrama main bola bareng. Walaupun kita dari berbagai daerah, tapi aku sudah menganggap mereka seperti keluargaku sendiri.

Semakin hari semakin benci sekali aku sama Gilang dan kedua temannya. Dia selalu saja melakukan perbuatan yang benar-benar membuatku sakit hati. Mereka menghina aku dan keluargaku. Kalau saja hanya aku yang mereka hina, aku masih terima, tapi aku muak, karena mereka menghina keluargaku. Aku memang orang miskin,tapi tak sepantasnya mereka memperlakukanku seperti itu. Mereka mengejekku, melecehkanku di depan umum.
Geram, kesal dan benci kini menjadi satu. Aku muak melihat mereka bertiga. Tapi aku benci pada diriku sendiri, kenapa aku tidak pernah bisa membantah perlakuan mereka ? aku bodoh, aku ibarat patung yang hanya bisa mendengarkan ocehan-ocehan kasar dari mereka. 

“Ya Allah, terlalu banyak omongan-omongan yang membuat hatiku sakit, tapi aku tak pernah bisa membentak mereka.Beri aku kesabaran untuk menghadapi ini semua, kuatkan aku Ya Allah”.

Kubersimpuh di hadapan-Nya disepertiga malam terakhir. Aku berdzikir, berdo’a dan mendekatkan diriku pada-Nya. Aku redam semua emosi dan keegoisanku. Ternyata benar, tentram sekali jika aku mendekatkan diri pada-Nya, ku mencium sajadah dan bersujud panjang dihadapan-Nya. Ya Allah Ya Rabbi, engkaulah Maha Segalanya, Engkaulah dzat Yang Maha Sempurna. La illaha ilallah, Allahu akbar.

Hari Minggu telah tiba, hari yang selalu aku tunggu dalam sepekan, hari yang selalu membuatku tersenyum,karena aku libur kuliah. Aku tidak menemui Gilang dan teman-temannya. Sejenak aku menenangkan pikiranku. Aku memainkan game di laptopku. Nikmat sekali hari libur ini, aku senang.

Terdengar getaran hpku yang tadi kuletakan dibawah bantal. Kubuka dan kubaca sebuah pesan singkat itu, ternyata Innalilahi Gilang dan Deni kecelakaan, mereka luka parah dan dilarikan ke rumah sakit. Aku ikut khawatir dengan mereka, bagaimanapun juga mereka temanku.  Aku mencoba mengirimkan pesan itu pada Andi. Aku pun bergegas menuju rumah sakit itu. Sesampainya di rumah sakit, aku dan Andi mencari ruangan. 

“Assalamu’alaikum...”

Tak terdengar jawaban salam diruangan itu, kamipun langsung masuk ke ruangan itu. Benar-benar parah sekali luka Gilang, darahnya bercucuran begitu banyak. Aku lemas, melihat keadaan Gilang yang terkapar dan merintih kesakitan itu. Rasa benciku semakin memudar,aku benar-benar iba padanya.

Kami disuruh suster meninggalkan ruangan itu, Gilang akan segera ditangani. Orang tua Gilang belum juga datang. Tiga puluh menit kemudian suster dan dokter keluar dari ruangan, dan Gilang kekurangan darah. Sungguh ! Aku tidak tahu apa yang terjadi ? kenapa Gilang tak juga mendapatkan stok darah di rumah sakit ini ? Ya Ilahi Rabbi, beri ia kemudahan untuk menjalani perawatan. Waktu kini terus berputar, aku pun mengambil jejak langkah yang cepat, aku mendonorkan darahku untuk Gilang.

“Alhamdulillah, tidak sia-sia usahaku, darahku berhasil aku donorkan untuk Gilang”
Gilang siuman, ia bisa menggerakan tubuhnya. Walau aku terdampar lemas, aku tersenyum bahagia melihat Gilang sadar. Selama tiga hari Gilang dirawat di rumah sakit.
Tiba-tiba ia menyuruh suster untuk memanggilku. Aku bingung dan takut ia masih mengejekku. Aku pun menengoknya kembali. Sungguh ! demi langit dan bumi, aku terkejut melihat butiran-butiran air mata itu terurai dari kedua mata Gilang, ia menyuruhku mendekatinya. Akupun menurutinya. Ia berbisik merdu, sunyi sekali keadaan saat itu.Hanya ada aku dan Gilang di ruang itu.

“Aku minta maaf atas semua kesalahankku padamu , Toni”.

Semakin tergiur hatiku untuk meneteskan air mataku. Ucapannya begitu lirih, entahlah. Apa yang membuatnya seperti ini.Ku terdiam sejenak.

“Lang, kenapa kamu minta maaf ?”

Gilang pun menceritakan semua kesalahannya, ia benar-benar menyesali perbuatan yang telah ia lakukan kepadaku. Dia ingin aku bisa memaafkannya. Sungguh, inikah hikmah dari-Mu Ya Rabb ? sehingga membuat Gilang tersadar akan semua kesalahannya. Hatiku tersenyum bahagia, lega sekali aku bisa mengenal Gilang yang sekarang. Gilangpun tersenyum saat aku memaafkannya. Dan Gilang berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu serta tidak akan menghinaku kembali.

*) Penulis adalah Anggota Departemen Kajian dan Pers BEM FAI Unissula Periode 2012-2013.

Post a Comment

0 Comments