The Power of Mbok Darmi

parkiran-elite-the-power-of-mbok-darmi.jpg

Oleh : Qitbatin Nisa’

Semburat jingga berayun pelan dalam ufuk. Menemani jejak tapak kaki yang tinggal tulang berselubung kulit keriput tanpa sandal. Tubuhnya membungkuk, wajahnya rapat penuh kerut.
Kaki melangkah tak kenal lelah, tangan lemah yang terkikis usia, dibantu berdiri dengan sebuah tongkat tua, seolah menunjukkan dirinya telah kenyang oleh pahit dan manisnya kehidupan. Masa telah banyak memberikan kenyang pengalaman, dan tak pernah menyuguhkan manisnya kebahagiaan dalam pelukan orang – orang yang disayang.

Jalan aspal, gang belakang perumahan, berserakan sampah menggunung menjadi saksi bisu selama bertahun – tahun. Wanita tua renta, pekerjaannya tiap hari menyusuri gang setapak dengan membawa keranjang dipunggung berisi paku – paku bekas dan berkarat, guna menyambung hidup. Uang dari memulung setiap hari dikumpulkannya sedikit demi sedikit, hingga ia dapat menyambung hidupnya sampai sekarang ini. Pekerjaan yang dilakoni selama bertahun – tahun setelah hidupnya menjanda.

Senja semakin menepi, gelantung wajah senyum pucat rembulan menghampiri. Agaknya, rembulan paham hati mbok Darmi yang melirik ke arahnya. Wanita tua itu duduk sendiri di bawah sandaran tong sampah besi besar di depan gubuk tua miliknya. Rumah wanita tua itu berada di samping Tempat Pembuangan Akhir, yang berada di belakang perumahan kota. Bila musim hujan datang, air bah mengganyang gubug reot miliknya. Tak jarang, bau kecut sampah tercium sangat menyengat. Namun apalah daya, di sanalah rezeki dari Tuhan untuk mbok Darmi diturunkan.

Sambil duduk di teras gubugnya, nenek itu masih merenungi nasibnya untuk esok pagi. Berharap penuh akan ada banyak warga membuang botol – botol plastik bekas agar bisa dijual dan uangnya digunakan untuk membeli kayu bakar. Namun, sialnya rembulan makin bermuka masam dan bersembunyi di balik awan hitam. Makin lama dinanti, yang ada hujan deras mengguyur daerah tempat tinggalnya. Kini ia hanya bisa merenung, berharap keajaiban bisa datang untuk sedikit melegakan hatinya. Semakin lama hujan turun, genangan air di samping gubuk kecil makin meninggi, sampah – sampah makin berserakan tak karuan, bau – bau kecut sampah semakin menyengat.

Mbok Darmipun masuk dalam gubug, duduk dan bersandar di kursi kecil yang terbuat dari kayu. Gubuk tanpa penerangan listrik itu benar – benar membuat kehidupannya seperti orang yang tidak memiliki sanak saudara, karena sepi, kosong melompong jauh dari manusia pemukiman warga pada umumnya.

Hujan semakin deras tak membuat dirinya lengah untuk mengingat Tuhan, ia lantas berdoa “Hanya kepada-Mu hamba menyembah dan hanya kepada-Mu hamba memohon pertolongan.” Setelah berdoa tanpa sadar dia terlelap di kursi kayu itu.

Pagi-pagi sekali ia sudah terbangun, ia keluar dari gubug tua itu. Mencoba sejenak menghirup udara pagi dan mengganjal perutnya dengan beberapa batu kecil. Dengan langkah kecilnya, setapak demi setapak ia menyusuri jalanan perumahan. Jika hanya menunggu orang membuang sampah di samping gubuknya, itu belum menjamin akan ada barang bekas yang dapat diloakkan.

Mengingat semalam juga turun hujan, tentu banyak orang bermalas – malasan membuang sampah di TPA, karena bau  busuk sampah sangat menyengat. Sembari menelusuri jalan, tiba – tiba senyum mbok Darmi kembali terukir saat ia melihat botol – botol plastik bekas, dan beberapa paku berkarat. Diambilnya dan dimasukkan ke dalam keranjang pulungan, segera membawa pergi. Setidaknya sampai tepat di samping gubugnya.

Di hari ini waktu terus berjalan hingga matahari mulai menyorotkan sinarnya di atas kepala mbok Darmi. Hari ini ia kembali berteman dengan debu-debu. Kembali ke jalan megah metropolitan. Mungkin ia hanya sebagian kecil dari metropolitan ini, tapi setidaknya ia ikut meramaikan jalan gang perumahan. Sudah bertahun-tahun ia mencoba menjemput pundi-pundi rupiah di tempat ini.

Aku pun terenyuh melihat nenek itu dan berusaha mengevaluasi, mengapa anak muda zaman sekarang lebih memilih untuk berpangku tangan daripada mencari pekerjaan, walau kerjaan itu dianggap remeh oleh sebagian orang. Apa mereka malu? jika setidaknya mereka menjual koran-koran ataupun sekedar menjual minuman pelepas dahaga di sisi-sisi sekolahan. Usia anak muda pasti belum mencapai kepala 3, tapi mengapa ada yang semangatnya sudah seperti kakek renta yang dengan pasrah dititipkan di panti jompo? Aku tidak habis fikir.

Kembali ke nenek tua itu. Hari ini ia cukup beruntung, karena ia pulang sambil membawa keranjangnya yang penuh berisi paku – paku bekas dan botol – botol plastik dari selokan – selokan perumahan. Kemalasan membuang sampah para warga perumahan metropolitan justru menjadikan mbok Darmi dapat mendatangkan rezeki makan nasi bungkus di persimpangan jalan. Hujan semalam tak lagi menjadi penghalang pundi rupiahnya. Walaupun terkadang, hujan itulah yang membuatnya tak bisa banyak bergerak untuk mencari nafkah sehari – hari.

Petang menjemput, mbok Darmi kembali pulang ke peraduan. Kemudian seperti biasa duduk dengan posisi kaki berselonjor dan menyandarkan punggung bungkuknya di drum besi besar samping gubuknya. Tapi bukan aduan lagi yang kini keluar mulut nenek tua itu, tapi ucapan syukur yang tak henti-hentinya keluar. Mbok Darmi berkali-kali sujud syukur atas peruntungannya hari ini. Ditemani lampu temaram yang sekiranya cukup untuk menerangi tubuh seorang diri. Ia bersyukur karena hujan hanya turun di malam hari, sehingga seharian penuh ia bisa mengais rezeki.

Pagi kembali menjemput. Kembali berteman dengan debu-debu. Kembali menyusur ke jalan setapak. Tak disangka ada pecahan kaca yang sangat tajam menyusup kaki mbok Darmi. Dalam fajar yang masih petang, mata tua nan rapuh tak dapat melihat apa – apa. Dengan tongkat kayunya, ia mencoba terus berjalan, hingga sampai mentari tersenyum hangat menyambut mbok Darmi, tiba – tiba, “Brukk…” mbok Darmi jatuh tersungkur. Nenek malang itu telah menghadap Tuhan-Nya, dengan senyum merekah, atas syukur rupiah yng dikais kemarin sore.

Jalan setapak arah gubuk mbok Darmi banyak bercak darah segar, seperti kucuran darah ayam yang baru usai disembelih. Ya, jalan itu menjadi saksi bisu atas sabar dan perihnya kehidupan. Hanya ada syukur, sebagai pemeran utamanya yang harus dikedepankan.  Ketika aku melihat senyumnya, aku teringat pesan dibalik senyum wajah keriputnya itu “Nak, semoga langkahmu senantiasa tegap. Abaikanlah gengsi yang hinggap! Semoga semangat mudamu tetap bersinar, walau langit memaksa meradang. hidupkanlah mimpi-mimpimu, jangan hanya cukup berhenti sebagai bunga malam yang nantinya akan terkikis oleh senyum fajar yang datang”.

Post a Comment

0 Comments