Hakikat, Martabat, dan Tanggung Jawab Manusia

sumber pixabay.com

Pembahasan mengenai manusia merupakan hal yang sangat diutamakan oleh agama Islam, karena manusia merupakan makhluk yang memiliki karakteristik berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Menariknya, setiap pembahasan manusia ini selalu dilakukan oleh manusia sendiri, artinya siapapun yang mengajukan pembahasan manusia, sama saja membahas diri sendiri. Membahas diri sendiri seharusnya bisa lebih mudah dilakukan, terlebih jika pembahasannya secara universal.

Banyaknya penelitian mengenai manusia memunculkan konsep-konsep yang berbeda, misalkan homo sapien (manusia berakal), homo economical (manusia ekonomi) yang kadang disebut animal economic. Masih banyak konsep-konsep manusia yang dicetuskan oleh para peneliti berdasarkan keahlian masing-masing.

Sayangnya, masih ada manusia masih enggan membahas tentang manusia jika tidak ada yang mengajaknya. Padahal, ketika umat Islam ingin mengenal Tuhannya, maka mereka harus mengenal diri sendiri terlebih dulu. Lalu bagaimana nasibnya orang-orang yang enggan mengenal diri sendiri?

Pihak yang gencar memberi asupan ini ialah perguruan tinggi, karena setiap materi yang dibahas tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Misalkan Universitas Terbuka, yang di dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam membahas mengenai manusia. Ini merupakan satu contoh bahwa perguruan tinggi sangat memperhatikan pembahasan mengenai manusia, agar setiap manusia lebih memahami tentang dirinya dan tidak lupa siapa dirinya.

Pembahasan yang wajib diketahui oleh manusia sendiri ialah mengenai hakikat dan asal-usulnya, martabatnya, dan tanggung jawabnya. Beberapa pembahasan mendasar tersebut didasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian bisa diperjelas dengan berbagai pendapat para ahli.

Hakikat Manusia

Hakikat manusia yang hidup bertahun-tahun di dunia ini adalah salah satu makhluk yang diciptakan Allah. Manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki sifat lahir (syahadah/fisik) dan ghaib (non fisik).
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن طِينٖ  ١٢  ثُمَّ جَعَلۡنَٰهُ نُطۡفَةٗ فِي قَرَارٖ مَّكِينٖ  ١٣  ثُمَّ خَلَقۡنَا ٱلنُّطۡفَةَ عَلَقَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡعَلَقَةَ مُضۡغَةٗ فَخَلَقۡنَا ٱلۡمُضۡغَةَ عِظَٰمٗا فَكَسَوۡنَا ٱلۡعِظَٰمَ لَحۡمٗا ثُمَّ أَنشَأۡنَٰهُ خَلۡقًا ءَاخَرَۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحۡسَنُ ٱلۡخَٰلِقِينَ  ١٤

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. Al-Mukminun: 21-14).

Menurut Abdurraman An-Nahlawi, hakikat manusia bersumber dari dua asal, yaitu ashl al-ba’id (asal yang jauh) dan ashl al-qarib (asahl yang dekat). Asal yang jauh adalah penciptaan pertama manusia dari tanah kemudian Allah sempurnakan dan Allah tiupkan sebagian ruh-Nya kepada manusia. Sedangkan asal yang jauh ialah penciptaan manusia dari nuthfah. Penjelasan ini didasarkan kepada Firman Allah:

ٱلَّذِيٓ أَحۡسَنَ كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقَهُۥۖ وَبَدَأَ خَلۡقَ ٱلۡإِنسَٰنِ مِن طِينٖ  ٧  ثُمَّ جَعَلَ نَسۡلَهُۥ مِن سُلَٰلَةٖ مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ  ٨ ثُمَّ سَوَّىٰهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِۦۖ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَٰرَ وَٱلۡأَفِۡٔدَةَۚ قَلِيلٗا مَّا تَشۡكُرُونَ  ٩

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (QS. As-Sajdah: 7-9).

Selanjutnya Allah juga menjelaskan dengan Firman-Nya mengenai penciptaan Nabi Adam.

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي خَٰلِقُۢ بَشَرٗا مِّن صَلۡصَٰلٖ مِّنۡ حَمَإٖ مَّسۡنُونٖ  ٢٨  فَإِذَا سَوَّيۡتُهُۥ وَنَفَخۡتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ  ٢٩

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS. Al-Hijr: 28-29).

Penjelasan dari Al-Qur’an tersebut bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa dia bukanlah apa-apa, hanya kekuatan Allah yang bisa membuatnya berproses dengan cepat dan sempurna. Selain itu agar manusia terhindar dari kecongkakan, kesombongan, dan merasa hebat sendiri, agar setiap kehidupan manusia selalu rendah diri dan selalu patuh pada Tuhannya. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ فَتَبَارَكَ اللهُ أحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ

Wajahku bersujud kepada Dzat yang telah menciptakannya, memberinya rupa, pendengaran, dan penglihatan. Maka Maha Suci Allah sebagai Pencipta yang paling baik (HR. Muslim).

Martabat Manusia 

Makhluk yang Dimuliakan

Materialisme memandang manusia adalah kumpulan daging, urat, tulang, urat-urat darah dan alat pencemaan. Sedangkan akal dan pikiran manusia dianggap sebagai benda yang dihasilkan dari otak. Setiap manusia dianggap tidak memiliki keistimewaan dengan makhluk-makhluk lainnya, sehingga tidak heran jika paham ini mengelompokkan manusia dalam bangsa kera. Paham ini menggiring pemahaman manusia secara universal bahwa dirinya sendiri merupakan mannkluk yang rendah dan bahkan hina, sama dengan hewan yang setiap kehidupannya bertujuan untuk memenuhi hal-hal yang materil. Teori evolusi ini banyak membuat orang pada bingung, karena masih pada ragu tentang hal tersebut.

Paham tersebut berbeda dengan Islam, karena Islam menempatkan manusia tidak disamakan dengan binatang, tidak memposisikan dalam kehinaan, kerendahan, benda mati, ataupun makhluk-makhluk lainnya.
وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِيٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَٰهُمۡ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ وَرَزَقۡنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلۡنَٰهُمۡ عَلَىٰ كَثِيرٖ مِّمَّنۡ خَلَقۡنَا تَفۡضِيلٗا  ٧٠

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (QS. Al-Isra: 70).

Manusia yang merupakan keturunan Nabi Adam, tergolong makhluk yang mulia dan terhormat di sisi Tuhan dan manusia lainnya. Allah memposisikan manusia dengan sangat baik karena Allah memberikan tugas yang berat kepada manusia, agar semua hal yang berkaitan dengan manusia bisa berjalan serentak.

Makhluk Istimewa

Selain itu, manusia juga menjadi manusia yang istimewa, karena ia diberi kemampuan untuk membedakan dan memilih antara kebaikan dan keburukan. Allah menanamkan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan, sehingga manusia bisa memilih jalan yang membuat dirinya meraih kebahagiaan atau kebinasaan. Setiap orang yang memilih jalan kebahagiaan merupakan makhluk yang beruntung, sedangkan bagi mereka yang memilih jalan keburukan akan sangat merugi. Allah berfirman:
وَنَفۡسٖ وَمَا سَوَّىٰهَا  ٧  فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا  ٨  قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا  ٩  وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا  ١٠

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams: 7-10).

Allah memberi manusia ilmu pengetahuan dan kemauan, sehingga manusia menjadi lebih istimewa dibandingkan dengan makhluk lainnya. Adanya penguasaan ilmu pengetahuan di dalam diri manusia ini disebabkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang memiliki keinginan untuk hidup bahagia. Ilmu yang diberikan Allah kepada manusia dapat membantunya untuk memilih jalan yang terbaik. Ilmu pengetahuan ini akan mendorong manusia untuk meminimalisir kemauan manusia pada jalan yang buruk dan membinasakan.

Manusia Makhluk Terpilih

Manusia dikatakan makhluk terpilih karena manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi. Hal ini didasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 30:

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ  ٣٠

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (QS. Al-Baqarah: 30).

Allah lebih memilih menjadikan manusia khalifah sekalipun pernah dipertanyakan oleh Malaikat. Allah lebih mengetahui tentang hal ini, karena Allah telah mendesain manusia sedemikian rupa. Manusia dibekali berbagai potensi untuk menjadi khalifah di bumi, agar membawa kemaslahatan secara keseluruhan.

Kewajiban Manusia

Agama Islam bukan hanya memuliakan, mengistimewakan, dan mengunggulkan manusia dari makhluk-makhluk lainnya, tetapi Islam juga memberikan tanggung jawab yang berat kepadanya. Islam memberikan tanggung jawab kepada manusia untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupannya dan mewujudkan kehambaannya kepada Allah. Hal ini dijelaskan dalam Firman Allah:

إِنَّا عَرَضۡنَا ٱلۡأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱلۡجِبَالِ فَأَبَيۡنَ أَن يَحۡمِلۡنَهَا وَأَشۡفَقۡنَ مِنۡهَا وَحَمَلَهَا ٱلۡإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومٗا جَهُولٗا  ٧٢  

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS. Al-Ahzab: 72).

Tanggung jawab yang berat ini sampai tidak mau dipikul oleh makhluk Allah yang lainnya, karena khawatir tidak bisa melaksanakannya. Sedangkan manusia diberi tanggung jawab dengan senang hati memikulnya, sekalipun berbagai resiko akan ditanggungnya juga. Tanggung jawab ini berupa mengatur dunia agar tetap stabil dan terhindar dari kerusakan. Rasa tanggung jawab ini terpelihara di dalam diri semua manusia yang sadar, ingat, adil, jaih dari penyelewengan, tidak tunduk pada hawa nafsu, jauh dari kezaliman dan kesesatan. Artinya orang-orang yang beriman dan mengamalkan segala perinta Allah, akan selalu memiliki rasa tanggung jawab dalam situasi dan kondisi apapun. Hal ini dijelaskan oleh hadis Nabi:

“Tidaklah beranjak kaki seseorang hamba pada hari kiamat sebelum diminya pertanggungjawaban empat hal ini: tentang usia, dihabiskan untuk apa usia itu, tentang ilmu pengetahuan, diamalkan untuk apa ilmu itu, tentang harta, diperoleh dari mana dan dibelanjakan untuk apa harta itu, dan tentang tubuhnya, dilusuhkan untuk apa tubuh itu”. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah).

Post a Comment

3 Comments

  1. terimakasih sangat bermanfaat dalam menambah ilmu :)

    ReplyDelete
  2. Sangat menyentuh dan sarat makna, terima kasih atas ilmunya Pak

    ReplyDelete