Pengertian Civil Society dan Masyarakat Madani

parkiranelite-civilsociety

Pembahasan mengenai Civil Society di kalangan muslim Indonesia perlu dilestarikan dari generasi ke generasi. Proses pewarisan pengetahuan mengenai civil society ini paling optimal melalui jalur pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Hal ini urgen dilakukan sebagai langkah mengembangkan pengetahuan masyarakat Indonesia dan kritik sekaligus penolakan terhadap para sarjana Amerika yang menganggap bahwa civil society tidak kompatibel dengan Islam.

Dalam konteks ini, Tanvir Anjum menjelaskan banyak hal tentang keraguan para sarjana dari Eropa dan Amerika. Anjum menjelaskan bahwa banyak sarjana Eropa dan Amerika yang meragukan keberadaan civil society dalam konteks Muslim. Mereka mengatakan dengan tegas pada kekhususan historis dan budaya dari konsep
civil society, mereka berpendapat bahwa itu adalah produk yang unik dari Eropa, dan penerapannya pada konteks non-Eropa, terutama dalam masyarakat Muslim, adalah mustahil atau setidaknya bermasalah, karena diperlukan pra-kondisi untuk keberadaan civil society sebagian besar hilang di dalamnya. Persepsi dan debat kontemporer tentang ketidakcocokan inheren Islam dengan civil society telah lebih jauh dibentuk oleh peristiwa 9/11. Sebagai tanggapan, banyak sarjana telah menentang asumsi dan pernyataan etno-sentris ini, dan berargumen untuk kemungkinan teoretis tentang keberadaan civil society dalam konteks Muslim dan mengeluarkan bukti empirisnya juga.

Secara historis, civil society merupakan konsep yang berasal dari pergolakan sosial politik dan sejarah yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan industri. Civil sociey merupakan wacana yang telah mengalarni proses panjang yang muncul bersamaan antara modernisasi dan transformasi dari masyarakat foedal ke masyarakat modern. Civil society merupakan konsep yang berasal dari pergolakan sosial politik dan sejarah masyarakat Eropa yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan industri.


Sebenarnya wacana civil society ini mengalami perkembangan-perkembangan yang signifikan di tangan para sarjana. Perkembangan-perkembangan itu bisa dirunut mulai dari masa Aristoteles (384-322 SM), yang bisa dipahami bahwa civil society itu sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan kolnonial politike atau sebuah komunitas politik yang melibatkan warga negara secara langsung dalam berbagai percaturan politik, sosial, dan pengambilan keputusan. Perkembangan ini bisa dirunut sampai Alexis de Tocqueville yang hidup dari tahun 1804-1859 M. Ia mengembangkan teori civil society sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara.


Berbicara civil society dalam konteks Indonesia, maka konsep civil society ini mengerucut pada pemaknaan kehidupan masyarakat madani yang dipayungi dengan konsensus nasional. Jika ditelaah lebih lanjut, istilah masyarakat madani sesungguhnya berakar pada khazanah bahasa Arab, yaitu mudun dan madaniyah yang mengandung arti peradaban (civilization).

 
Penggunaan istilah masyarakat madani menunjuk pada pengertian bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang memiliki peradaban maju. Masyarakat madani rnerupakan sistem sosial yang subur dengan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perseorangan dengan kestabilan masyarakat.


Pemilihan kata masyarakat madani ini dilatarbelakangi oleh konsep al-Mujtama’ al-Madani yang diperkenalkan oleh Prof: Naquib al-Attas. Beliau mendefinisikan al-Mujtama’ al-Madani sebagai konsep masyarakat ideal yang mengandung dua komponen besar, yaitu masyarakat kota dan masyarakat beradab.


Pada prinsipnya, masyarakat madani adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan pluralitas. Pemaknaan masyarakat madani itu merujuk formulasi masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw, yang digambarkan sebagai prototype ideal masyarakat demokratis, egaliter, adil, dan berkeadaban.


Selanjutnya masyarakat madani oleh berbagai pihak lebih diartikan mendekati konsep civil society. Esensi dasarnya adalah kesadaran mengenai pentingnya penguatan masyarakat dalarn sebuah komunitas negara untuk mengimbangi dan mengontrol kebijakan-kebijakan negara yang cenderung memposisikan masyarakat sebagai pihak yang lemah. Untuk itu diperlukan penguatan masyarakat sebagai prasyarat untuk mencapai kekuatan bargaining di hadapan negara. Sebuah masyarakat yang mampu berdiri secara mandiri di hadapan negara, adanya free public sphere guna mengemukakan ide dan pendapat, menguatnya posisi kelas menengah, adanya independensi pers sebagai bagian dari kontrol sosial, membudayakan hidup yang demokratis, toleran serta civilized.


Selain memiliki kapasitas sebagai kekuatan penyeimbang (balancing power) dari kecenderungan- kecenderungan dominan dan intervensionis negara. Civil society juga dipandang memiliki potensi untuk melahirkan kekuatan kritis reflektif di dalam masyarakat. Civil society dinilai sebagai condition sine qua non menuju kebebasan. Kebebasan di sini dapat diartikan sebagai kebebasan dari (freedom from) segala dominasi dan hegemoni kekuasaan dan kebebasan untuk (freedom for) berpartisipasi dalam berbagai proses kemasyarakatan secara sukarela dan rasional.


Daftar Pustaka:
Iskandar Agung et. all., Pendidikan Karakter Membangun Karakter Bangsa, (Jakarta: Penerbit Bestari Buana Murni, 2011).
Tanvir Anjum, "Civil Society in Muslim Contexts: The Problématique and a Critique of Euro-American Perspectives", Islamic Studies, Vol. 51, No. 1 (Spring 2012), pp. 27-48.

Post a Comment

0 Comments