Secara bahasa, sunnah adalah jalan, kisah atau keterangan yang bersifat baik dan juga bisa bersifat buruk. Seperti penjelasan dalam hadis ini yang menggunakan kata sunnah:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun. (HR. Muslim).
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat antar berbagai ulama dalam mendefinisikan sunnah. Hal itu disebabkan latar belakang keilmuan yang berbeda, dan setiap ulama mendefinisikan sunnah berdasarkan keilmuan yang dikuasainya.
Ulama Hadis:
Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah Saw., baik mengenai ucapan, perkataan, ketetapan, dan sifatnya.
Ulama Ushul Fiqh:
Segala sesuatu yang telah bersumber/berasal dari Rasulullah selain al-Qur'an, baik dari segi ucapan, perbuatan, ketetapan, yang digunakan sebagai dalili hukum syar'i.
Ulama Fiqh:
Sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Rasulullah, yang hukumnya bukan fardhu dan bukan wajib. Sunnah adalah jalan untuk bertindak dalam agama yang hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib.
Menuru Abdul Wahhab Khallaf bahwa sunnah/mandub adalah sesuatu yang dituntut oleh syari’ untuk dilaksanakan oleh mukallaf secara tidak pasti. Seperti bentuk tuntutan syari’ itu sendiri tidak menunjukkan kepastian, atau tuntutan itu bergandengan dengan alasan yang menunjukkan tidak adanya kepastian.
Jika syari’ menuntut mengerjakan sesuatu dengan bentuk lafal "yusannu kadzaa", atau
"yundabu kadza" (disunnahkan begini atau dianjurkan begini), maka tuntutan dengan bentuk lafal itu disebut mandub. Jika tuntutan itu berbentuk perintah tetapi disertai alasan yang menunjukkan sunnah, maka tuntutan itu juga disebut mandub.
Seperti firman Allah Swt.:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَكۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡٔٗاۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِي عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسَۡٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةٗ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَكُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٞ وَلَا شَهِيدٞۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُۥ فُسُوقُۢ بِكُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 282).
Perintah menuliskan hutang adalah sunnah, tidak wajib, dengan alasan yang ada pada ayat itu sendiri, yaitu firman Allah:
وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥۗ وَلَا تَكۡتُمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَۚ وَمَن يَكۡتُمۡهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٞ قَلۡبُهُۥۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283).
Ayat ini memberikan gambaran bahwa seorang yang memberi hutang boleh percaya kepada orang yang berutang tanpa mencatat transaksi itu. Juga seperti firman Allah Swt:
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱلَّذِينَ يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيهِمۡ خَيۡرٗاۖ وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِيٓ ءَاتَىٰكُمۡۚ وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. (QS. An-Nuur: 33).
Perjanjian majikan dengah budaknya adalah sunnah dengan alasan bahwa seorang majikan bebas mengelola apa yang dimilikinya (termasuk budaknya).
Jika bentuk tuntutan mengerjakan sesuatu sudah menunjukkan kepastian dan ketetapan, maka disebut wajib, seperti: kutiba ’alaikum, (diwajibkan atas kamu) ‘uridlo ’alaikum (difardlukan atas kamu) dan wa qadloo robbuka (Tuhanmu telah memutuskan). Jika tuntutan itu sendiri tidak menunjukkan kepastian dan ketetapan, maka disebut mandub (sunnah), seperti: nudiba lakum (disunnahkan bagimu), sunna lakum (disunnahkan bagimu).
Dan jika bentuk tuntutan itu sendiri tidak menunjukkan pasti atau tidak pasti, maka diambil dalil dengan beberapa qorinah (alasan) bahwa yang dituntut itu menunjukkan wajib atau sunnah. Alasan itu dapat berbentuk nash atau berbentuk dalil yang diambil dari prinsip syara’ secara umum dan kaidah-kaidah global. Juga dapat berbentuk urutan hukuman atau tidak berurutan karena meninggalkan suatu perbuatan. Karena itu wajib sering diartikan dengan sesuatu yang jika seseorang meninggalkannya akan disiksa, dan sunnah sering diartikan dengan sesuatu yang jika seseorang Meniggalkannya tidak disiksa tetapi ia dicela.
Pembagian Sunnah:
Abdul Wahhab Khallaf membagi sunnah menjadi tiga, yaitu pertama sunnah yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan orang yang meninggalkan sunnah ini tidak mendapat siksa melainkan mendapat celaan.
Secara garis besar, sunnah yang masuk dalam kategori ini ialah setiap perbuatan muslim untuk menyempurnakan kewajiban, misalkan adzan dan shalat lima waktu berjamaah. Kemudian yang masuk dalam kategori Sunnah ini ialah segala sesuatu yang ditekuni oleh Rasulullah Saw. Mengenai persoalan agama dan beliau tidak pernah meninggalkannya kecuali sekali atau dua kali untuk menunjukkan ketidakpastiannya; seperti berkumur dalam berwudlu dan membaca surat atau ayat setelah bacaan surat al-Fatihah dalam shalat. Bagian ini disebut sunnah muakkadah atau sunnah huda.
Kedua, sunnah yang dianjurkan oleh syara’ untuk dikerjakan, pelakunya mendapat pahala dan yang menjnggalkan tidak djsiksa atau dicela. Di antara sunnah ini adalah sesuatu yang tidak ditekuni oleh Rasulullah Saw., hanya beberapa kali dikerjakan dan juga beberapa kali ditinggalkan. Di antaranya adalah semua bentuk tathaumm’, seperti bersedekah kepada para fakir, puasa hari Kamis dalam setiap minggu, atau shalat beberapa rekaat sebagai tambahan shalat fardlu dan sunnah muakkadah. Bagian ini disebut zaaidah atau naajilah.
Ketiga, sunnah tambahan, artinya dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf. Di antaranya adalah mengikuti jejak Rasulullah Saw. dalam hal kebiasaan beliau sebagai seorang manusia; seperti makan, minum, berjalan, tidur dan berpakaian menurut sifat yang dilakukan oleh Rasul. Mengikuti jejak Rasul dalam hal-hal tersebut sifatnya adalah penyempurna, dan dianggap sebagai kebaikan bagi mukallaf karena menunjukkan kecintaan dan kuatnya hubungan dengan Rasul. Tetapi, orang yang tidak mengikuti Rasul dalam hal-hal seperti tersebut tidak dianggap orang yang jahat, karena hal itu tidak termasuk syariat Rasulullah Saw. Bagian ini disebut mustahab, adab dan fadhilah.
Referensi:
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
As-Sayyid 'Alawi Al-Maliki, Al-Manhal al-Latif fi Ushul al-Hadis as-Syarif, (Dar ar-Rahmah al-Islamiyyah, tt).
1 Comments
sungguh ilmu yang bermanfaat, terimakasih :)
ReplyDelete