Oleh : Ahmad Kholas Syihab*
Berbagai macam aktivitas intoleransi yang telah terjadi di negeri ini patut dijadikan sebagai bahan renungan sekaligus pembelajaran bagi para generasi milenial. Mereka harus menyadari bahwa sejak awal pendirian negara ini, para founding fathers kita sudah sangat mafhum bahwa: Indonesia berdiri di atas keberagaman. Bertumpu pada multikulturalitas yang kenyal, bukan berdiri di atas tumpuan yang keras dan tunggal. Ribuan etnis, budaya, agama, dan kepercayaan menjadi komponen yang membuat Indonesia menjadi kaya, sekaligus indah beraneka warna. Kesadaran penuh para pendiri negara untuk mengelola keanekaragaman itu, membuat toleransi menjadi salah satu values yang sejak awal menjadi perhatian.
Intoleransi Bertambah
Indonesia belakangan ini mendapat cobaan berat. Negeri yang disebut surga dunia, kini terjadi prahara, kasus demi kasus intoleransi senantiasa membanjiri lini massa. Rentetan kejadian seperti penolakan warga non-muslim sampai pemotongan simbol salib di makam Yogyakarta, dua serangan terhadap ulama dan persekusi terhadap seorang biksu di Tangerang, bahkan pembubaran acara keagamaan oleh ormas keagamaan menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia sudah tidak aman lagi untuk beribadah?
Dari release yang disebutkan oleh Wahid Foundation dari segi persebaran wilayah, peristiwa pelanggaran KBB pada 2017 terjadi di 27 provinsi, lebih sedikit dibanding 2016 (30 provinsi). Provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi pada 2017 ini adalah DKI Jakarta dengan 50 peristiwa, diikuti Jawa Barat (44 peristiwa), Jawa Timur (27 peristiwa), Jawa Tengah (15 peristiwa) dan NTB (10 peristiwa). Tahun 2017 untuk pertama kali DKI menjadi provinsi dengan tingkat pelanggaran tertinggi, menggeser Jawa Barat yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu menempati posisi teratas. Peristiwa terbanyak didominasi oleh DKI Jakarta, utamanya terkait dengan kasus Ahok dan Pilkada. Peristiwa di DKI Jakarta didominasi ujaran kebencian. Peristiwa pelanggaran terbanyak terjadi pada Maret (9 peristiwa), disusul Januari (8 peristiwa) dan Mei (7 peristiwa).
Sementara kasus-kasus pelanggaran di Jawa Barat didominasi oleh isu-isu yang relatif beragam. Beberapa isu yang mengemuka antara lain terkait dengan kasus pembatasan terhadap Ahmadiyah, kasus-kasus gereja, kasus-kasus intimidasi dan lain-lain. Pelanggaran terbanyak terjadi pada bulan Februari (8 peristiwa), disusul Maret dan Juni (6 peristiwa) serta Agustus (5 peristiwa). Kasus itu bisa berupa aksi sweeping, demonstrasi, menentang kelompok yang dinilai menodai agama, atau melakukan penyerangan rumah ibadah pemeluk agama lain.
Kejadian pembubaran acara pra-Natal di Sabuga Bandung menjadi sangat heboh karena menyangkut SARA. Intolerensi yang mengabaikan perjalanan panjang kehidupan kerukunan umat beragama di Indonesia ini sangat disayangkan. Pembubaran acara pra-Natal di Sabuga tersebut dilakukan oleh kelompok intoleran. Alasan klasik yang digunakan lagi-lagi menggunakan alasan perizinan yang belum lengkap, dan ini menurut aktivis keberagaman dinilai sebagai alasan 'mengada-ada'.
Sejumlah laporan menyebut kelompok yang menamakan diri Pembela Ahlus Sunnah dan Dewan Dakwah Islam lah yang menghentikan acara tersebut, karena menganggap acara keagamaan tidak seharusnya dilakukan di tempat umum. Hal tersebut tentu saja mencoreng nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dipatuhi oleh masyarakat yang tinggal di Indonesia.
Sumber malapetaka ini adalah tidak adanya sikap toleransi yang terbangun dalam jiwa mereka. Sehingga beragam kasus intoleransi tetap banyak di Indonesia, bahkan meningkat. Hal itu memperlihatkan bahwa kondisi bangsa kita mengalami darurat Pancasila.
Jaga Toleransi
“Kini saatnya kembali mengajak sekaligus mengingatkan pada semua pihak bahwa toleransi adalah sikap aktif untuk mewujudkan kesetaraan dalam perbedaan, bukan semata-mata membiarkan dan mengabaikan perbedaan".
Kesetaraan dalam perbedaan baik suku, agama, bahasa, maupun etnisitias itu hanya bisa terwujud jika hukum ditegakkan secara benar. Oleh karena itu, perjuangan mewujudkan toleransi tidak bisa dilepaskan dari perjuangan untuk menegakkan hukum yang menjamin semua orang setara tanpa diskriminasi. Peristiwa yang sedikit menyengat di hati adalah secara kebetulan di Hari Toleransi kita mendapatkan kado yang "kontradiktif" dengan semangat toleransi (Tribunjateng, 17/04).
Tentang toleransi ini sebenarnya sudah diajarkan oleh para nenek moyang kita, sejak bertahun-tahun. Di dalam keluarga, masyarakat dan juga di sekolah sudah sering kita dengar. Untuk lebih menguatkan dan menyadarkan kita pada pentingnya toleransi, baiknya semua elemen masyarakat memahami peran keluarga, sekolah, pemimpin agama, dan pemerintah agar bibit-bibit intoleransi tersebut dapat ditanggulangi.
Namun jika dikaitkan dengan kasus di awal, yang paling dekat untuk dijadikan acuan dalam menanggulangi intoleransi yaitu pentingnya peran pemimpin agama dan pemerintah. Peran pemimpin agama menjadi sangat krusial mengingat merekalah tokoh yang cukup dihormati di masyarakat dan dianggap memiliki ilmu agama yang lebih tinggi. Pemimpin agama yang baik seharusnya turut serta menjaga perdamaian dan toleransi di masyarakat alih-alih menyerukan permusuhan dan bahkan penyerangan.
Berkaca pada masyarakat Keling Jepara, daerah yang memiliki multikurtural agama tetapi selalu solid karena peran pemimpin agamanya (Islam, Budha, Hindu, Kristen) mengaplikasikan sikap toleransi. Bentuk toleransi yang diterapkan oleh pemimpin agama di daerah Keling mulai dari ceramah untuk saling menghormati umat agama lain hingga mengadakan diskusi terbuka tentang nilai universal keagamaan antar pemuka agama.
Pengasuh pondok/tokoh agama yang ada di Keling Jepara menjadi pencetus adanya kegiatan "Deklarasi panca akur pangeling sedulur agami". Hal ini dilakukan untuk menjaga toleransi warga setempat yang memiliki perbedaan keyakinan. Kegiatan rutinan ini dimaksudkan agar umat dapat mengetahui dan mampu menggali lebih dalam ajaran agama lain yang sama-sama mengajarkan kebaikan.
Panca akur sendiri merupakan momen pemersatu semua tokoh agama dan masyarakat Keling Jepara yang multikultural agama tersebut untuk berkumpul dan berikrar bersama. Ikrar agama untuk pemantapan berbangsa di Indonesia ini dilakukan dengan duduk bateng bersama sedulur se-agama, tujuannya agar tingkatkan kualitas dan rasionalitas beragama, berbangsa dan bernegara. Kegiatan ini bisa diaplikasikan dan dicontoh warga rentan konflik intoleransi di Indonesia.
Kemudian, peran pemerintah pun diharapkan dapat turun tangan untuk mengatasi masalah intoleransi di Indonesia. Pemerintah diharapkan lebih agresif dalam menjelaskan bagaimana eksistensi Pancasila dalam kaitannya dengan penganut agama-agama di Indonesia, terutama penganut agama mayoritas yang toleran sebagai syarat eksistensi negara.
Dialog konstruktif seperti pengadaan Taplai (Penetapan Nilai-Nilai) kebangsaan di berbagai wilayah secara menyeluruh perlu dibangun bersama-sama ormas-ormas yang toleran dan inklusif.
Pengadaan Taplai dari Lemhannas ke berbagai wilayah di Indonesia akan menyegarkan kembali dalam jiwa masyarakat kita, khususnya generasi muda, tentang betapa luhur perjuangan maupun cita-cita kemerdekaan bangsa kita. Bahkan dapat menyadarkan segenap lapisan masyarakat kita tentang hakikat "bangsa" dan "demokrasi" sebagai yang niscaya tegak dan berkiprah di dalam keberagaman dan niscaya terjalin dalam suatu hubungan simbiosis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan intoleransi antarumat beragama bukanlah tanggung jawab instansi tertentu saja, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Peran sinergis antara keluarga, sekolah, pemimpin agama, dan pemerintah perlu diwujudkan. Penulis percaya bahwa toleransi di Indonesia belum padam. Toleransi antarumat beragama masih memiliki harapan tumbuh dan berkembang di dalam diri masyarakat Indonesia.
*) Mahasiswa Psikologi Profesi UII, Wakil Sekretaris GP Ansor Jepara
0 Comments