Oleh: Miftahul Huda*
Khitan atau sunat merupakan suatu ritual yang sakral, biasanya diikuti dengan berbagai upacara, syukuran dan perayaan yang menandai seorang anak laki-laki telah disunat. Berbeda dengan sunat perempuan, ini merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat yang praktiknya sama dengan laki-laki yaitu memotong sebagian alat kelamin. Namun syukuran atau acara yang menandai telah disunatnya seseorang tidak menyertai perempuan.
Ritual sunat memang sudah dicontohkan oleh nabi Ibrahim dan diikuti sampai saat ini. Namun untuk sunat perempuan atau Female Genital Multilation (FGM) belakangan menimbulkan perdebatan. Gugatan tersebut muncul dari WHO dan LSM-LSM yang bergerak dibidang kesetaraan gender. Sedangkan faktor lain yang menyebabkan banyak penolakan adalah untuk pembatasan kenikmatan seks bagi perempuan sehingga hanya laki-laki saja yang bisa menikmati kepuasan seks.
Menurut WHO, terdapat sekitar 140 juta gadis yang hidup di dunia dengan memiliki konsekuensi disunat. Bahkan di Afrika sendiri, setiap tahun terdapat 3 juta gadis yang berisiko di sunat. Hak gadis di Afrika terhadap tubuhnya sudah terreduksi. Belum lagi dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang akan terjadi dimasa depan mereka.
Sedangkan di Indonesia sebelumnya sunat perempuan diatur dalam Permenkes Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan. Namun kemudian berdasarkan permenkes No. 6 Tahun 2014 aturan sunat perempuan tahun 2010 dicabut. Selanjutnya permenkes meminta Majlis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menyelenggarakan sunat perempuan yang aman serta tidak melakukan mutilasi pada kelamin perempuan.
Menurut wakil Menkes, Ali Qufron Mukti, sunat perempuan tidak ada manfaatnya dan sunat ini berbeda dengan sunat perempuan di Afrika. Sunat di perempuan di Indonesia bertujuan untuk mengekang seksualitas perempuan, sehingga perempuan tidak bisa menikmani tubuhnya secara penuh. Namun menurutnya juga tidak ada sanksi bagi tenaga medis yang melakukannya, karena tidak ada aturannya.
Berdasarkan aturan di atas, pemerintah tidak tegas dalam melindungi tubuh perempuan. Tubuh perempuan masih berpotensi untuk dikontrol oleh budaya tradisional yang masih memeiliki watak patriarki. Maka perlu dipertegas lagi mengenai hak asasi manusia untuk perempuan, bahwa setiap orang berhak atas tubuhnya sendiri.
FEMALE GENITAL MULTILATION (FGM) MENURUT AGAMA IBRAHIM
Dalam ajaran agama Ibrahim, sunat sudah diatur dalam kitab suci mereka. Dalam agama Yahudi misalnya, sunat di atur dalam Genesis 17: 11-12:
“11 You are to undergo circumcision, and it will be the sign of the covenant between me and you. 12 For the generations to come every male among you who is eight days old must be circumcised, including those born in your household or bought with money from a foreigner—those who are not your offspring.” (Genesis 17: 11-12)
Di dalam kitab Taurat hanya mewajibkan sunat untuk anak laki-laki Yahudi. Sedangkan untuk sunat perempuan tidak dijelaskan. Sedangkan menurut Oxford Dictionary of Jews Religion, sunat perempuan tidak pernah diijinkan bagi perempuan Yahudi. Namun ada sebagian kelompok minoritas Yahudi yang hidup di Ethiopia melakukan ritual FGM. Mereka adalah kelompok imigran yang biasa disebut “Falashas” atau “Beta Israel.”
Mereka dipercayai telah terisolasi dan teraniaya selama bertahun-tahun, sehingga mereka tidak bisa berbicara atau membaca Hebrew (Bahasa Ibrani), karena tidak mendapat informasi atau akses ke sumber-sumber kitab mereka. Hasil dari wawancara beberapa dari mereka yang melakukan FGM menyatakan, bahwa mereka melakukan FGM tidak ada kaitannya dengan agama. Melainkan karena niat untuk tidak bersetubuh sebelum menikah. Mereka juga mudah untuk meninggalkan kebiasaan FGM ketika sudah bermigrasi ke Israel.
Selanjutnya sunat menurut agama Kristen, di dalam Bibel Lukas 2: 21 menyatakan:
21 And at the end of eight days, when he was circumcised, he was called Jesus, the name given by the angel before he was conceived in the womb.Penjelasan tersebut hanya berlaku pada laki-laki dan sulit menemukan literatur yang menerangkan FGM. Namun otoritas Kristen dengan jeas menyuarakan, bahwa FGM tidak memiliki dasar dalam teks-teks agama Kristen. Meskipun begitu, ada beberapa kelompok Kristiani yang melakukan FGM, misalnya di Mesir, Tanzania, Nigeria dan Kenya. Bagaimana pun, menurut otoritas Kristen, FGM adalah ritual yang tercipta melalui campuran budaya, sosial dan agama.
Dalam agama Islam, FGM menjadi pembahasan yang serius. Ketertarikan masyarakat pada teks-teks agama sangat tinggi, bahkan minat untuk men-sakralkan teks cenderung lebih dulu muncul daripada mengkaji keaslian dan manfaatnya. FGM bisa ditemukan di dalam hadis Abu Daud no. 5271:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّ امْرَأَةً، كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لاَ تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Hadis di atas menerangkan bahwa ada seorang wanita melakukan sunat di madinah, kemudian Rasulullah SAW memperingatkan agar jangan memotong semua bagian klitoris perempuan, karena kenikmatan seks yang diinginkan perempuan berada di sana dan suami lebih menyukai perempuan yang masih memiliki klitoris.
Namun hadis tersebut dikomentari oleh Abu Daud, ia berkata bahwa ini diriwayatkan oleh Ubaid Allah Ibn Amr tentang otoritas Abdul Malik. Namun hadis ini termasuk Da'if (lemah) karena sanadnya terputus dan Mohamed Ibn Hassan, salah satu perawi, tidak disebutkan namanya. Bahkan sarjana kontemporer sudah melacak ulang hadis tersebut, bahkan Dr. Mohammad Lotfy Al Sabbagh, Profesor Studi Islam di Universitas Riyad, Arab Saudi, dalam studinya tentang sunat perempuan mengatakan: "Pertimbangkan dua imam terhormat, Abu Daud dan Al Irak, yang telah menggambarkan Hadits sebagai lemah, dan mengabaikan mereka yang menganggapnya asli ”.
Menurut analisis Alamsyah, dengan status Da’if pada hadis Abu Daud tersebut masih banyak ulama’ yang mengamalkannya. Namun mereka tidak menganggapnya sebagai kewajiban secara tersirat ataupun tersurat. Kalaupun Nabi pernah melakukan sunat perempuan, itu pun bukan untuk diwajibkan, namun karena pengaruh budaya yang sudah melekat di Madina.
The Islamic Shari’a Council, the Muslim College and the Muslim Council of Britian (MCB) telah mengutuk praktik FGM dalam komunitas Muslim. Mereka berpendapat tidak ada refrensi tentang FGM di al-Quran dan FGM adalah tradisi yang ada sebelum Islam. Praktik tersebut hanya akan memperburuk Islam sebagai agama. Terlepas dari kualitas hadis yang lemah dan tidak adanya legitimasi dari al-Quran, praktek FGM harus dipahami secara scientific dan sosial. Bukan berdasarkan tradisi yang sebenarnya akan mengancam kebebasan berekspresi. Selanjutnya hukum yang dikeluarkan untuk menyikapi FGM harus berdasarkan pada pemahaman sosial dan medis yang akurat dan interpretasi dari praktik dan penerapannya dari putusan hukum yang berasal dari sumber yang diterima, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas.
Berkaitan dengan produk hukum, ahli hukum seharusnya tidak hanya memiliki pengetahuan tentang fiqh dan syari’ah saja. Karena kata ahli hukum itu bukan “Syaria” atau “agama”. Banyak dalam fiqh dan hadis berbicara mengenai obat-obatan, nutrisi, pakaian dan sejenisnya. Berbicara non-agama, Nabi (SAW) memberikan contoh yang baik ketika ia memerintahkan umat Islam untuk meninggalkan penyerbukan pohon-pohon palem ke alam dan ketika pohon-pohon itu tidak menghasilkan buah sebanyak yang diharapkan, ia berkata: "Anda memiliki lebih banyak pengetahuan tentang urusan duniawi Anda.” Maka dari itu, ahli hukum harus menganggap pengetahuan orang tentang permasalahan dunia sebagai kebenaran selama tidak melanggar ketentuan yang otentik. Hukum ditetapkan setelah mempertimbangkan pendapat medis dan ilmiah. Jadi pendapat ahli hukum menyesuaikan pendapat dokter, bukan sebaliknya.
FGM PERSPEKTIF MEDIS DAN HAM
Menurut WHO, FGM secara internasional diakui sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan merupakan wujud ketidaksetaraan antar-jenis kelamin. Ada empat tipe FGM, yaitu:
Tipe 1- Klitoridektomi: pengangkatan sebagian atau total klitoris (bagian kecil, sensitif dan ereksi pada alat kelamin wanita) dan / atau dalam kasus yang sangat jarang, preputium (lipatan kulit yang mengelilingi klitoris).
Tipe 2 - Eksisi: pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa eksisi labia majora (labia adalah 'bibir' yang mengelilingi vagina).
Tipe 3 - Infibulasi: penyempitan lubang vagina melalui pembuatan segel penutup. Segel ini dibentuk dengan memotong dan memposisikan kembali labia bagian dalam, atau luar, dengan atau tanpa pengangkatan klitoris.
Tipe 4 - Lainnya: semua prosedur berbahaya lainnya pada alat kelamin wanita untuk tujuan non-medis, mis. menusuk, menusuk, mengiris, mengikis dan membakar daerah genital.
Menurut medis, praktik FGM seperti disebutkan di atas, sebenarnya tidak ditemukan manfaatnya bagi tubuh dan anak dimasa depan. Bahkan praktik tersebut menimbulkan efek traumatis dan menyakitkan. Kerusakan jaringan pada genitalia perempuan mengganggu fungsi alami tubuh dan menyebabkan konsekuensi jangka pendek dan panjang. Misalnya, bayi yang lahir dari alat kelamin wanita yang telah mengalami FGM akan mengalami tingkat kematian neonatal yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dari wanita yang tidak mengalami FGM.
Jika dilihat dari perspektif HAM, praktik tersebut sebenarnya mencerminkan ketidaksetaraan pada dua jenis kelamin dan merupakan diskriminasi ekstrim yang dialami perempuan. Selain itu, karena FGM selalu dilakukan pada anak di bawah umur, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak anak. Yaitu perampasan terhadap hak atas kesehatan, keamanan dan integritas fisik orang tersebut, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan hak untuk hidup ketika prosedur tersebut berakibat kematian.
Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi di tahun 1948 menyatakan, “All human beings are born free and equal in dignity and rights.” Pasal tersebut sebagai prinsip dasar tentang hak asasi manusia yang menekankan campur tangan negara dalam menuntaskan permasalahan pelanggaran HAM. Termasuk permasalahan pengucilan, ketidakadilan dan kesejahteraan anak harus diprioritaskan oleh negara dan organisasi-organisasi sosial masyarakat.
CEDAW telah merekomendasikan program pendidikan untuk mengurangi stereotip dan prasangka. Rekomendasi lain adalah penghapusan praktik tradisional seperti kekerasan dan pelecehan dalam rumah tangga, pernikahan paksa dan sunat perempuan. Menurut CEDAW, praktik budaya tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan hak asasi manusia. Kebebasan atas tubuh harus dilindungi dan dihargai, terutama membebaskan perempuan dari subordinasi non-diskriminasi.
FGM jelas sebagai bentuk politik tubuh (biopolitic) . Anatomi tubuh perempuan dilihat oleh budaya dan agama sebagai ancaman oleh salah satu jenis kelamin. Maka praktik FGM dianggap mampu untuk mengontrol kehidupan sosial dengan menerapkannya pada salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan. Kontrol sosial yang dilegitimasi oleh tradisi atau budaya, bahkan juga agama tersebut seakan menunjukkan kelemahan salah satu jenis kelamin dalam mengontrol tubuh seksualnya. Kemudian FGM dilegitimasi utuk menutupi kelemahan atas kontrol tubuh. Namun sialnya, efek dari praktik FGM mengakibatkan masalah mental dan kesehatan perempuan serta ancaman kematian pada bayi yang akan dikandungnya nanti.
KESIMPULAN
FGM adalah ritual yang berasal dari percampuran budaya, sosial dan agama. Manfaatnya pun tidak ditemukan, hanya tujuannya saja yang jelas ada, yaitu membatasi kontrol perempuan atas tubuhnya. Pelaku FGM berdasarkan agama juga tidak bisa dibenarkan. Hadis yang menyatakan perlunya FGM juga timbul dari budaya setempat sebelum agama Islam datang. Bahkan hadis dari Abu Daud tersebut dinyatakan Da’if oleh dia sendiri.
Hak asasi manusia harus dipertahankan, FGM jelas merupakan pengkebirian HAM perempuan dan anak-anak. Alasan apa pun tidak bisa untuk meleegitimasi FGM, entah itu budaya, tradisi, atau bahkan agama. Pendapat medis harus menjadi pertimbangan utama demi kehidupan yang aman dan bebas terjamin. Begitu pun campur tangan pemerintah, pelarangan terhadap FGM harus ada dan pelanggarnya harus diberi sanksi dengan jalan membuat produk hukum yang mengatur tentang FGM.
REFERENSI:
Claudia G et all., Understanding and addressing violence against women, (WHO, 2012).
Eliminating Female Genital Multilation: an Integracy Statement, (Switzerland: WHO, 2008).
Foucault, Michel, Society Must Be Defended, (trans.) David Macey, (New York: PICADOR, 2003).
Human rights for children and women: How UNICEF helps make them a reality, (New York: UNICEF, 1999).
Nashiruddin, Muhammad A, Sahih Sunan Abu Daud, jilid III, (terj.) Tajuddin Arief dkk., (PUSTAKA AZZAM, 2002).
Savitri G; Rangita S.A., Women’s and Children’s Rights in a Human Rights Based Approach to Development, (New York: UNICEF, 2005).
Selim, Mohamed A., FGM in Context of Islam, (General Secretary of the International Federation of Islamic Scholars, Cairo).
Jurnal Alamsyah, “Memahami Hadis Nabi Tentang Khitan Perempuan dari Perspektif Historis-Fenomenologis”, Journal of Pengembangan Masyarakat: Ijtimaiyya, Vol. 7, No.1, 2014.
El-Damanhoury, “The Jewish and Christian View on Female Genital Multilation”, African Journal of Urology, 2013.
WEB:
https://www.voaindonesia.com/a/peraturan-menteri-kesehatan-ri-soal-sunat-perempuan-telah-dicabut/1839905.html, diakses pada 15 Mei 2019, pada 21.30 WIB.
FGM-Islam leaflet, supported by Muslim Spiritual Care Provision in the NHS, The Muslim Council of Britain, Forward: Safeguarding rights & dignity. support@forwarduk.org.uk https://forwarduk.org.uk/wp-content/uploads/2014/12/FGM-Islam-Leaflet.pdf, diakses pada 15 Mei 2019, pkl. 19.20 WIB
*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Interdiciplinary Islamic Studies (IIS) Konsentrasi Islam dan Kajian Gender (IKG) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 Comments