Ketentuan Melaksanakan Puasa Ramadan (Pengertian, Syarat Wajib, dan Rukun Puasa)

parkiranelite-ramadan

Pada tahun 2019 ini, Kementerian Agama dalam Sidang Isbat memutuskan bahwa awal atau tanggal 1 Ramadan 1440 H jatuh pada hari Senin tanggal 6 Mei 2019. Sidang Isbat ini dihadiri oleh para pimpinan ormas Islam, para ahli ilmu falak, astronomi, BMKG, LAPAN, para pimpinan plus anggota hisab dan rukyat Kemenag, dan para perwakilan negera-negara sahabat.

Ditetapkannya hari Senin 6 Mei 2019 sebagai awal ramadan, maka secara otomatis pada hari itu semua umat Islam di Indonesia sudah dikenakan hukum wajib untuk berpuasa di bulan ramadan.

Puasa bulan ramadan diwajibkan kepada umat Islam pada bulan Sya'ban di tahun kedua hijrah. Puasa dalam bahasa Arab disebut صيام atau صوم yang artinya adalah imsak إمساك alias menahan, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut fasting yang artinya berpuasa atau puasa. Secara terminologi, puasa adalah menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya dengan niat tertentu dari mulai terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. 

Berdasarkan pengertian di atas, setiap orang berpuasa tidak diperbolehkan makan, minum, jimak, dan beberapa hal yang dilarang syariat. Dimulai sebelum subuh hingga waktu maghrib tiba.

Asal diwajibkannya puasa didasarkan pada firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah: 183).

Kemudian khusus yang puasa bulan ramadan didasarkan pada firman Allah:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS. Al-Baqarah: 185).

Syarat Wajib Puasa

Islam merupakan agama yang pengertian terhadap para penganutnya, pengertian ini bisa kita lihat dalam perintah berpuasa. Setiap orang diwajibkan berpuasa jika sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, dan setiap orang yang tidak memenuhinya diberi dispensasi serta alternatif lain.

Setiap datangnya bulan ramadan, pembahasan yang viral ditanyakan adalah mengenai indikator orang-orang yang diwajibkan berpuasa. Siapa sih yang diwajibkan berpuasa dan siapa saja yang mendapatkan dispensasi dan alternatif?

Dalam Islam, syarat-syarat wajib berpuasa itu ada tiga, namun di sebagian kitab lain terdapat empat syarat, yaitu (1) Islam; (2) Baligh; (3) Berakal; (4) Mampu berpuasa. Jika ada salah satu belum terpenuhi, maka tidak dikenai hukum wajib berpuasa, seperti orang gila, anak kecil, orang haid, nifas, sakit.

Hal ini memang penting diketahui dan dimengerti oleh setiap muslim, agar setiap muslim tidap lupa bahwa dirinya orang Islam yang memiliki kewajiban individu dari agama. Empat syarat itu merupakan satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan. Jika satu saja tidak terpenuhi, konsekuensi hukumnya berubah.

Fardu/Rukun Puasa

Puasa seseorang bisa dikatakan sah manakala rukunnya terpenuhi, dalam beberapa kitab dijelaskan bahwa fardhu atau rukunnya puasa itu ada empat, yaitu (1) niat, (2) menahan diri untuk tidak makan, (3) menahan diri untuk tidak jimak (bersetubuh), (4) menahan diri untuk tidak muntah secara sengaja.

Sesuatu yang harus dilaksanakan setiap muslim agar puasanya dikatakan sah, ini dikatakan rukun. Pertama, setiap muslim harus niat puasa ramadan di dalam hati dan tidak disyaratkan untuk mengucapkannya, waktu niat puasa wajib dilaksanakan pada setiap malam hari mulai setelah maghrib hingga sebelum terbitnya fajar. Kalimat niat secara utuh ialah:

نويتُ صَوْمَ غَدٍ عن أداء فرض رمضان هذه السّنة لله تعلى

Saya niat puasa ramadan besok tahun ini karena Allah Ta'ala.

Kedua, menahan diri dari makan dan minum mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Selama waktu itu muslim tidak boleh makan maupun minum secara sengaja. Namun jika muslim lupa bahwa dirinya sedang berpuasa, kemudian ia makan dan minum, maka hukumnya tidak membatalkan puasa. Hukum ini juga berlaku bagi orang-orang yang tidak mengetahui tentang puasa.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

...dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid... (QS. Al-Baqarah: 187).
 .
Ketiga, menahan diri tidak jimak dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Jadi puasa itu bukan hanya menahan makan dan minum, tetapi juga menahan hawa nafsu, emosi, dan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa. Jika ada seseorang lupa bahwa dia berpuasa, kemudian dia jimak, maka hukumnya sama dengan orang yang makan dalam keadaan lupa. Jika selama puasa dilarang jimak, maka selama bulan ramadan tetap diberi solusi oleh Allah:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. Al-Baqarah: 187).

Keempat, menahan diri agar tidak muntah secara disengaja. Fenomena muntah ini memang tidak pernah diduga dalam setiap diri seseorang, jika muntahnya tidak disengaja dan tidak tertahankan lagi, maka konsekuensi hukumnya sudah berbeda:


عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللُه عَنْهُ قَالَ: قَاَل رَسُوْلُ الله صلّى الله عليه وَسلّمَ: مَنْ ذَرَعَهُ قَيْئٌ وَهُوَ صائمٌ فَلَيْسَ عَليْهِ قَضَاءٌ عَلَيْهِ، وَإنْ إستَقَاءَ فَلْيَقْضِ

Dari Abu Hurairah RA. ia berkata Rasulullah saw. bersabda “Barang siapa yang tidak sengaja muntah, maka tidak ada qadha untuknya (tidak batal), dan siapa yang sengaja muntah maka wajib qadha baginya.” (Diriwayatkan dari abu dawud (2380), At-Tirmidzi (720), dan selain beliau berdua).

Referensi:

Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, (Sarang: Al-Maktabah Al-Anwariyah, tt).
Musthafa Dib Al-Bagha', At-Tadzhib fii Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, (Darul Musthafa Dimasyq).
Al-'Alim Al-'Alamah Syekh Zainuddin bin Abd Al-Aziz Al-Malibari, Fathul Mu'in bi Syarhi Qurrah Al-'Aini, (Semarang: Toha Putra, tt).


Post a Comment

0 Comments