Oleh: Ahmad Kholas Syihab*
Kata hijrah terilhami oleh peristiwa perpindahan Nabi Muhammad dari Mekah menuju Yatsrib (Madinah). Pindahnya Nabi membawa dampak bagi perkembangan Islam di tanah Arab sampai pada puncaknya peristiwa Fathu Makkah (pembebasan Makkah). Hal itu menjadi sebuah pembuktian bahwa kepindahan Nabi bukanlah sebuah pelarian, melainkan sebuah strategi dakwah dengan damai.
Namun, ada satu hal yang luput dari pemahaman seseorang tentang hijrah. Hijrah Nabi tidak hanya dalam misi untuk penyebaran agama, namun juga misi sosial. Terbukti hal pertama yang dilakukan nabi ialah mempersaudarakan dua kelompok besar, yaitu kelompok Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari kota Makkah) dan kelompok Anshar (yaitu penduduk kota Madinah).
Tindakan Rasulullah SAW yang kedua ialah mengeratkan persaudaraan di antara kabilah-kabilah tadi menuju keharmonisan pergaulan. Langkah Nabi selanjutnya ialah menerapkan hukum yang diajarkan Allah secara bertahap. Nabi, dalam menghadapi masyarakat yang plural, tidak melangkah cenderung ingin mengubah dengan cepat, melainkan secara bertahap.
Maka hijrah tidak boleh hanya terpaku pada bagaimana kita hidup lebih agamis kemudian melalaikan misi sosial. Hijrah juga bukan sekadar berjilbab lebar-lebar, berjenggot lebat-lebat, mengubah foto profil sosmed menjadi blur atau sering share kutipan-kutipan tausyiah dari ustaz idolanya. Lebih dari itu, hakikat hijrah adalah meninggalkan berbagai larangan agama. Baik larangan yang bersifat lahiriah maupun yang bersifat batiniah.
Maka jangan hanya melihat hijrah dari satu sisi. Lihatlah secara utuh bahwa hijrah bukan berarti asosial, namun hijrah harus sampai pada tingkat kesalehan sosial. Hijrah yang menuju lebih Islami tidak boleh dipahami sebagai transformasi paham menjadi konservatif anti Pancasila dengan cara mengislamkan Indonesia dan menegakkan khilafah, yang lantas dianggap kurang Islami dan harus diganti dengan landasan Islam. Hijrah yang seperti itu adalah hijrah yang radikal.
Dinamika yang terjadi, banyak yang ingin berhijrah namun hijrahnya menuju lebih radikal, dengan memahami agama sebagai sebuah ideologi. Salah satu cirinya adalah dengan memahami agama secara tekstual. Merasa pemahaman agamanya paling benar lalu yang berbeda pandangan dengannya dianggap salah. Ketika individu sudah masuk pada fase ini, maka bisa disebut terkena Dunning-Kruger Effect.
Apa itu Dunning-Kruger Effect?
Ada sebuah fenomena dalam psikologi yang disebut "Dunning-Kruger Effect", kebanyakan dari yang mengalami sindrom ini adalah mereka-mereka yang sebenarnya tidak kompeten. Dunning-Kruger Effect ini adalah teori yang dikembangkan pada tahun 1999 oleh Dr. David Dunning dan Dr. Justin Kruger, dua profesor psikologi dari Cornell University. Secara garis besar, Dunning-Kruger Effect didefinisikan sebagai bias kognitif di mana seorang individu yang tidak terampil menderita superioritas ilusi, mereka keliru akan tingkat kemampuan mereka dan merasa kemampuan mereka jauh lebih tinggi dari yang sebenarnya. Bias ini dikaitkan dengan ketidakmampuan metakognitif untuk mengenali mereka sendiri.
Penyebab dari Dunning-Kruger Effect yang paling besar adalah ego. Tidak ada satu orangpun yang berpikir dirinya adalah orang yang tidak mempunyai kemampuan sehingga mereka akan meningkatkan penilaian mengenai dirinya. Penilaian seseorang memiliki pengabaian (ignorance) sehingga lebih mudah mengakui diri kompeten daripada mengetahui dan menilai kelemahan diri, sehingga hal inilah yang menciptakan ilusi. Cara yang dapat kita lakukan untuk menghadapi Efek Dunning-Kruger ini adalah berpikir kritis terhadap apa yang menjadi kemampuan diri kita sendiri, logis dalam berpikir dan selalu berada dalam kerendahan hati.
Mengembalikan Makna Hijrah
Hijrah sebenarnya sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW dan para ulama. Semoga dapat menjadi bekal hijrah para kaum muda, hijrah untuk terus-menerus memperbaiki diri lahir batin secara sempurna.
Oleh karena itu makna hijrah harus dikembalikan pada asalnya. Bahwa hijrah bukan hanya terbatas pada aspek eksistensi saja. Tetapi hijrah harus mampu menembus batas-batas fisik, karena sejatinya hijrah bukan hanya persoalan sudah bercadar atau tidak, hijrah bukan persoalan seberapa besar kerudungmu, seberapa cingkrang celanamu, juga bukan seberapa panjang jenggotmu. Hijrah itu tentang bagaimana kita memperbaiki hubungan kita kepada Allah, kepada manusia dan kepada alam sekitar.
Demikian pula, dengan berhijrah orang tidak berarti dapat merasa lebih baik daripada orang lain, menyalah-nyalahkan orang lain dan meremehkannya. Seiring tuntunan Nabi Muhammad SAW “Hakikat hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah,” Muttafaq ‘Alaih, (Lihat Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2001 M], juz I, halaman 217).
Seperti dicontohkan oleh Nabi, yang ketika berhijrah tidak hanya membangun agama, tapi juga membangun tatanan sosial. Membangun sebuah masyarakat jahiliah yang tak bermoral menjadi masyarakat berperadaban. Membangun masyarakat Arab yang semula tak diperhitungkan kekuatannya, hingga membuat kejutan dengan berbagai penaklukkan.
Kita harus bisa mencontoh untuk membangun peradaban Indonesia menjadi lebih baik lagi bukan malah mengkampanyekan khilafah dan makar terhadap negara. Bukankah kedamaian untuk beribadah dan bekerja menjadi dambaan semua agama?
*) Penulis adalah Wakil Sekretaris PC GP Ansor Jepara dan Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jawa Tengah.
0 Comments