Memupuk Kesalehan Sosial sebagai Perlawanan terhadap Narasi Perpecahan


Oleh: Suheri Sahputra Rangkuti*

Dulu, kita pernah dihebohkan oleh berita seorang yang diduga maling toa masjid dibakar hidup-hidup. Baru-baru ini kita dengar pula seorang suporter bola mati mengenaskan di tangan fans panatik suporter lain. Belum lagi kasus-kasus besar, seperti, pihak-pihak sparatis yang selalu mengancam keutuhan NKRI. Dari sini, terlintas sejenak di benak kita, apa yang terjadi dengan bangsa ini? Bangsa yang dikenal dengan keramah-tamahanannya, bangsa yang dikenal dengan religiutasnya, namun sekarang terasa jauh dari sebutan-sebutan itu.


Bangsa yang ramah ini kehilangan senyumnya karena ramah sudah diganti dengan cepat marah. Bisa jadi ini ditengarai oleh konsep teologi surga yang sudah dikotori dengan kepentingan-kepentingan lain. Dulu orang ramah dan mudah senyum karena memang sikap ramah adalah kemewahan kita yang sudah diturunkan dari para leluhur penghuni nusantara. Sekarang sikap ramah terkikis tidak lagi menjadi kemewahan akan tetapi menjadi bahasa basa basi ketika berjumpa dengan orang lain, senyum hanya mengembang ketika berjumpa dengan kelompoknya saja. Sombong dan masa bodo bila yang ditemui orang yang ia rasa bukan dari kelompoknya.


Sikap religuitas bangsa kita juga akhir-akhir ini begitu meningkat tajam, hal ini merupakan sesuatu yang pantas kita syukuri. Namun, meningkatnya sikap keberagaman kita tidak berbanding lurus dengan pengamalan nilai-nilai agmanya. Pengamalan keagamaan kita hanya sibuk ngurusi Tuhan, hingga melupakan banyak hal. Kurang peduli dengan penderitaan manusia, apalagi yang berbeda agma bahkan sekte/aliran sekalipun satu agama. Setiap pemeluk cendrung hanya sibuk mengkampanyekan kebenaran-kebenaran tentang Tuhan. Selalu memberi argumen kepada orang lain bahwa hanya agamanyalah yang bisa membangun kesejahteraan duniawi dan mengantar manusia menuju surgawi. Akan tetapi dengan mengkampanyekan kebenaran Tuhannya ia menginjak-injak kebenaran Tuhan orang lain, dengan mengkampanyekan surga ia rela menghina surga orang lain.


Tentu, kenyataan-kenyataan di atas berbanding terbalik dengan nilai-nilai substansi dari setiap agama. Agama yang didominasi oleh praktek-praktek ruhani dan ragawi mengajarkan pemeluknya untuk bersatu dan menghargai perbedaan. Bukan malah sebaliknya, suka ngamuk-ngamuk, merasa benar sendiri, bahkan membenci keutuhan, hingga membentuk semacam gerakan spratis, yang acap kali menguras perhatian negara.


Kamar-kamar menuju surga, tidak melulu dengan ritual atau pun ibadah personal kepada Tuhan. Malah, kamar menuju surga itu lebih banyak dibuka Tuhan dari kesalehan-kesalahen sosial bahkan kesalehan terhadap alam. Konon kabarnya, seorang wanita pelacur masuk surga hanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan di tengah gurun pasir, pun sebaliknya seseorang masuk neraka akibat membunuh kucing di rumahnya. Itulah sebabnya, jalan menuju surga memang beragam, sesuai dengan sosio-budayanya.


Muslim atau Kristen, Budha dan lain-lainnya adalah agama yang diterima sejak lahir, bisa jadi cuma sedikit saja yang mencari Tuhan dan agamanya. Oleh karenanya, tidaklah patut organisasi atau aliran agama lebih penting dari Tuhan dan ajarannya. Ironisnya lagi, kebaikan dan kearifan seseorang menjadi tak berarti hanya karena beda aliran, agama, suku dan partai. Dengan penuh keeksklusifana dinyatakan si “Anu” baik, arif dan jujur, sayangnya dia Islam, sayangnya dia Kristen, sayangya dia Hindu dll.

Persyaratan masuk surga bukan hanya dilihat dari ritual standar, melainkan juga komitmen kemanusiaan. Kunci surga adalah menjaga hak orang lain, menjaga persatuan dan kepedulian terhadap sesama. Sayangnya, surga Tuhan sering dimanipulasi bagi kepentingan sepihak. Bahkan ditahun politik seperti ini, surga menjadi bahan kampanye, yang milih calon ini masuk surga yang gak milih masuk neraka. Lebih parah lagi, pelaku cucui otak dari kalangan terorisme, sering menjadikan surga, sebagai umpan bagi mereka yang kehilangan kemanusiannya. Atas nama surga ia membunuh orang lain.


Lukisan kehidupan nyaman di surga, juga bisa diterapkan dalam hidup berbangsa, artinya, Indonesia adalah surga duniawi, dengan menjaga alamnya kita bisa melihat keindahan surga, dengan menjaga persatuannya kita akan merasa hidup aman layaknya surga. Sebagai warga negara kita wajib menjaga kekayaan alam yang kita miliki, kita wajib menjaga kearifan lokal yang kita miliki, sebelum semuanya berubah menjadi bencana, dan jauh dari gamabaran surga.


*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Post a Comment

0 Comments